Islamisasi Sastra dan Sumpah Pemuda

Agama Hindu berkembang dan memiliki pengaruh besar, bahkan mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ketujuh Masehi. Dapat ditandai dengan kegemilangan kerajaan Sriwijaya, yang memiliki pengaruh cukup besar di wilayah Nusantara.

Saat itu, Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu kuno sebagai bahasa resmi istana dan masyarakat umum, di samping penggunaan bahasa Sansekerta yang digolongkan sebagai bahasa populer saat itu di Asia Tenggara.

Walaupun bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan Sriwijaya dan sebagai bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Buddha di Palembang, khususnya pada abad ketujuh, namun hingga saat ini belum dijumpai satu peninggalan berupa buku atau catatan khusus yang menunjukkan tentang perkembangan kesusastraan Melayu khususnya Indonesia dalam bentuk tulisan, kecuali setelah kedatangan Islam di kepulauan Nusantara.

Bukti-bukti nyata tentang wujudnya kesusastraan Indonesia pada zaman pra-Islam hanya berupa beberapa catatan pada batu-batu bersurat atau prasasti. Dan kesusastraan Indonesia yang berkembang sebelum kedatangan Islam hanya dikenal lewat mulut ke mulut, atau bercorak lisan minus tulisan.

Dengan itu, semua hasil kesusastraan dalam bentuk tulisan, hanya lahir setelah Islam datang ke Indonesia. Mayoritas buku-buku sastra justru ditulis oleh para ulama yang menjadi juru dakwah di Indonesia, bahkan banyak kesusastraan Indonesia yang berasal dari kisah-kisah agama Hindu dalam bentuk lisan, oleh para ulama yang sastrawan diubah alur ceritanya menjadi kisah-kisah dalam Islam. Semacam islamisasi kisah.

Kesusastraan pengaruh India yang tersebar di Nusantara sebelum kedatangan Islam hanya tertulis dalam bahasa Jawa. Pada awal-awal kebangkitan Islam di Nusantara, seorang ulama terkemuka asal India, Syekh Nuruddin Arraniri (w.1658) mengecam buku "Hikayat Seri Rama" dan "Hikayat Inderaputra".

Inilah yang mendorong para ulama dan dai kelana untuk mengambil peran penting dalam menulis kembali (re-writing and re-interpretation) karya-karya kesusastraan Hindu ke dalam bahasa Indonesia dan menyesuaikan dengan alam pikiran Islam. Konsep Dewa Brahma dalam kisah Seri Rama sebagai objek kecaman Ar-Raniri ditulis kembali dan diganti menjadi "Allah".

Bahkan dalam permulaan "Hikayat Seri Rama" ada disebutkan mengenai kisah Nabi Allah Adam yang dikatakan berdoa kepada Allah untuk menyampaikan hajat Rawana demi memperoleh kerajaan empat penjuru dunia. Sementara keturunan Raja Dasartha tidak lagi dari keturunan dewa-dewa, tetapi digambarkan hanya sebagai manusia biasa, yaitu keturunan Nabi Adam.

Hikayat Ganjamara, sebuah karya kesusastraan pengaruh Hindu yang disadur dalam bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh utama dalam cerita ini sudah menjadi orang yang menganut agama Islam, seperti Ganjamara atau Gustibuana. Walaupun persoalan-persoalan yang ditimbulkan dalam hikayat ini mengenai pengembaraan, peperangan dan cinta. Namun, yang menarik perhatian adalah tokoh utamanya memainkan peran penting dalam usahanya menyebarkan agama Islam sehingga ia dapat mengislamkan beberapa kerajaan Hindu, dengan berbagai metode dan kecerdasannya.

Satu lagi karya kesusastraan India, yaitu "Serat Aji Saka Angajawi" telah disesuaikan dengan kepercayaan Islam dengan mengatakan Aji Saka adalah pengikut Nabi Muhammad yang datang dari Makkah ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.

Sementara kitab "Mahabarata" yang juga disadurkan ke dalam bahasa Indonesia telah dihilangkan unsur-unsur agama Hindu yang terkandung di dalamnya, walapun pandangan alam Islam (islamic worldview) telah disematkan dalam hikayat ini, namun jika ditelaah secara mendalam masih banyak bercampur khurafat.

Memang, secara umum, hikayat-hikayat dari India yang masuk ke Indonesia melalui agama Hindu setelah Islam datang diubah seratus depalan puluh derajat dengan memasukkan konsep-konsep dan alam pandang Islam (islamic worldview), termasuk mengubah tokoh-tokohnya yang berasal dari nama-nama dewa menjadi nama para nabi. Bahkan dari judul pun mengalami perubahan yang mencolok. Misalnya "Hikayat Mara Karma" diubah judulnya menjadi "Hikayat Si Miskin", demikian pula, hikayat "Serangga Bayu" diubah menjadi "Hikayat Ahmad Muhammad" atau "Hikayat Indra Jaya" diganti menjadi "Hikayat Syahi Mardan".

Proses islamisasi memang berjalan secara terencana, terstruktur, dan terukur oleh para ulama dan dai yang cerdas, jenius, dan inovatif. Antara cara mereka berdakwah adalah menulis risalah-risalah agama yang menerangkan tentang ajaran agama Islam yang berisi akidah, syariah, dan muamalat bercorak sastra.

Karena para ulama dan dai didominasi kalangan sufi, maka kisah-kisah ahli sufi banyak dipaparkan sehingga pada tahap tertentu menjadi sebuah legenda. Buku-buku tersebut awalnya berbahasa Arab lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan nuansa sastra yang kental. Maksud utamanya adalah untuk menokohkan ulama-ulama tertentu, seperti kitab, Hikayat Sultan Ibrahim, Hikayat Abu Yazid al-Bistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Rabi'ah, daftarnya terus berlanjut.

Ada pula cerita-cerita fiktif ditulis dengan tujuan hiburan dengan memasukkan beberapa unsur didaktik. Semacam cerita-cerita mengenai raja-raja Islam beserta keluarga istana, yang isinya mengulas masalah pengembaraan, percintaan, dan perjuangan mereka menegakkan keadilan.

Kisah-kisah sastrawi berbahasa Arab, Persia, dan Hindustan di atas lalu disadur oleh para ulama dengan menyesuaian, maka lahirlah buku-buku bacaan seperti, Hikayat Raja Damsyik, Hikayat Muhammad Mukabil, Hikayat Jauhar Manikam, Hikayat Sultan Bustaman, dll.

***

Kesusastraan Islam becorak sejarah pada umumnya ditandai dengan adanya mukkadimah dengan doksologi, yaitu suatu tradisi penulisan dalam Islam yang dimulai oleh Nabi Muhammad sewaktu menulis surat resmi, dokumen-dokumen atau pidato. Tradisi ini terus dilestarikan para penulis Islam dari masa ke masa hingga saat ini.

Ada pula ciri lainnya, untuk menandai kesusastraan Islam, seperti penggunaan istilah-istilah Arab dan Persia, umpamanya, al-kisah, syahdan, nama Allah, nabi-nabi, para ulama, dan ada pula petikan-petikan ayat-ayat Al-Qur'an, hadis, perkataan ahli hikmah, dan ditutup dengan, wallahu a'lam bis-shawab, wailaihi marji'un wal-ma'ab.

Ada pula sastra dalam bentuk ketatanegaraan yang pada umumnya disusun berdasarkan alam pandang syariat Islam, maka judulnya sendiri menggunakan bahasa Arab, seperti "Bustan as-Salatin" jika diindonesiakan "Taman segala Raja-raja" dikarang oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri, ada pula, "Taj as-Salatin", atau "Mahkota Segala Raja" dikarang oleh Bukhari al-Jauhari.

Maka, dapat disimpulkan bahwa kesusastraan Indonesia lama banyak dipengaruhi oleh tradisi penulisan dalam Islam, dan para penulis kesusaatraan tersebut adalah ulama dan ilmuan ulung yang telah menimba ilmu dengan matang. Bahkan, perkataan 'sejarah' sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab 'syajarah' bermakna 'pohon' yang membawa arti 'keturunan'. Istilah-istilah lain yang digunakan adalah, hikayat, silsilah, kisah, dan tarikh, semuanya dari bahasa Arab.

Sejarawan dan sastrawan ulung masa kini, Prof. Naquib Al-Attas memaparkan hasil penelitiannya bahwa Hamzah Fansuri adalah manusia pertama di dunia yang menggunakan bahasa Melayu/Indonesia secara rasional dan sistematis, yaitu dengan daya inteleknya beliau telah menggunakan bahasa Melayu untuk membicarakan soal-soal filsafat. Dengan demikian Hamzah Fansuri sudah sewajarnya diberi tempat utama dalam pensejarahan bahasa dan kesusastraan Melayu/Indonesia dan beliau harus diakui sebagai bapak sastrawan modern, (Al-attas: 1972).

Tulisan bahasa Indonesia pada mulanya adalah menggunakan abjad hija'iyah atau huruf Arab yang telah disesuikan penyebutannya, dan bertahan dari masa kemasa, hingga pada masa Orde Lama, khususnya kepemimpinan Sukarno yang mewajibkan penggunaan huruf latin sebagai tulisan resmi negara termasuk di setiap lembaga pendidikan.

Tapi sumbangsih para ulama dan dai dalam menciptakan tulisan dengan adaptasi dari bahasa Arab adalah proyek agung yang menjadi asal-muasal terciptanya bahasa Indonesia modern yang kita pakai sekarang, atau ilmu sastra yang terus berkembang. Tanpa mereka, niscaya kisahnya akan berbeda. Menyebut jasa-jasa mereka berarti mengingat kembali asal-usul bangsa ini, bangsa Indonesia dengan satu bahasa perekat ratusan suku bahasa, dan ribuan pulau yaitu Bahasa Indonesia.

Dari sinilah Sumpah Pemuda berakar yang merupakan keputusan Kongres Pemuda Kedua, diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) yang narasi aslinya seperti ini: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Selama Hari Sumpah Pemuda!

Ilham Kadir, Pengurus KPPSI Pusat & Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor.

Komentar