Adab - adab Tarbiyyah

Ada 2 pembahasan pokok dari materi adab tarbiyah:
1.      Adab-adab pada saat bermajelis
2.      Bagaimana adab seorang mutarabiyah kepada murabbiyah
Catatan (meskipun biasanya dalam buku-buku para ulama masih ada tambahan yakni adab-adab murabbi terhadap mutarabbinya atau adab-adab murabbiyah pada saat bermajelis, namun cukup yang dijelaskan kepada mutarabbiyah adalah 2 poin di atas).
Pembahasan adab-adab tarbiyah diambil dari buku-buku ulama kita yang menukil tentang adab-adab majelis dan adab para penuntut ilmu. Begitu banyak (belasan, puluhan bahkan ratusan) buku-buku ulama yang membahas tentang hal tersebut. Bahkan boleh dikata “tidaklah ulama yang membahas tentang ilmu kecuali membahas persoalan adab-adab terutama para ulama hadits dalam buku-buku musthalah mereka membahas persoalan yang sangat penting ini. Karena adab bermajelis adalah suatu sebab keberkahan majelis tersebut kita dapatkan sehingga banyak ulama kita yang ketika mencoba mengamati keadaan majelis-majelis salaf, apa inti perbedaan antara majelis-majelis kita dengan mereka. Sekarang materi-materi yang kita bahas juga al Qur’an dan as Sunnah juga kita mau usahakan sesuai dengan pemahaman salaf. Materinya sama (buku yang kita gunakan adalah buku yang juga digunakan oleh ulama-ulama terdahulu), namun di antara sisi perbedaan yang sangat mencolok yakni persoalan adab, sehingga banyak majelis-majelis sekarang di berbagai tempat yang kadang melupakan persoalan ini. Sehingga keberkahan ilmu yang mereka miliki dulu tidak kita miliki di jaman sekarang ini. Hal ini menunjukkan pentingnya persoalan adab-adab dalam bertarbiyah. Apalagi, para ulama salaf memandang pembahasan adab adalah pembahasan yang paling awal sebelum kita terjun dalam pembahasan ilmu syar’i.
Begitu banyak perkataan ulama tentang hal tersebut
1.      Al Imam Abu Abdillah Sufyan Ats Tsauri Rahimahullahu Ta’ala, seorang tabi’ tabi’in, beliau berkata:“Mereka-mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk pergi  menuntut ilmu hingga anak-anaknya telah diajar adab terlebih dahulu Dan memperbanyak ibadah 20 tahun”
Jadi sebelum menuntut ilmu yang begitu banyak cabang-cabangnya dengan sangat detail para ulama salaf (yakni yang disaksikan oleh Al Imam Sofyan Ats Tsauri dari kalangan tabi’tabi’in), mereka tidak mengutus anaknya untuk menuntut ilmu kecuali telah selesai persoalan adab dan ibadah mereka yakni adab sebelum menuntut ilmu.
2.      Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala. (seorang tabi’I tabi’in). beliau menceritakan tentang diri beliau sendiri tentang metodenya dalam menuntut ilmu (salah seorang ulama yang mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain. Beliau adalah sumber rujukan di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah, infak, jihad, dst.) bagaimana metode beliau sehingga bias mencapai tingkatan yang sangat mulia, beliau mengatakan: “Saya menuntut adab selama 30 tahun dan saya menuntut ilmu cuma 20 tahun dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu”.
Jadi ternyata metode beliau bukanlah metode yang beliau buat sendiri, tetapi merujuk dari orang-orang terdahulu yang berarti bahwa memang mereka (salaf) mendahulukan adab dibandingkan ilmu, bahkan ketika kita lihat lamanya, imam sufyan lebih lama belajar adab disbanding ilmu.
3.       Muhammad bin Sirrin Rahimahullahu Ta’ala, salah seorang tabi’in. Beliau berkata :”Mereka dahulu (tabi’in dan sahabat) mempelajari adab sebelum mereka mempelajari ilmu”.
Adab tarbiyah
Adab ini perlu untuk kesempurnaan ilmu yang kita terima.
Adab-adab majelis:
1.        (memilih majelis)
Kita harus memilih majelis (tidak semua majelis yang dibuat manusia sekarang ini perlu untuk kita hadiri dan kita semarakkan)
Kita perlu mengajarkan mereka dari awal untuk selektif dalam memilih majelis dan itu telah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Abu Musa Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

عَنْ أَبِي مُوسَى t عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ] إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً [ (متفق عليه واللفظ لمسلم)
 “Perumpamaan antara teman duduk yang baik dengan teman duduk yang buruk seperti perumpamaan penjual minyak wangi dan tukang batu atau semacamnya”.
Intinya, ketika berteman dangan teman yang shalih maka kita akan mendapatkan 3 kebaikan:
1.      Ia akan menghadiahkan kepada kita minyak wanginya, (ia akan memberikan kita faedah tanpa diminta)
2.      Kita akan membeli dari dia minyak wanginya karena dia teman kita; tidak membeli di tempat lain; dimana kalau kita beli dari teman maka ada hadiah khusus. Maksudnya tidak begitu sulit bagi kita untuk meminta faidah darinya, contohnya nasehatnya, dll.
3.      Kita akan mendapatkan darinya bau yang harum artinya mungkin ia tidak langsung memberikan nasehat kepada kita dan kita mungkin yang agak segan langsung memintanya tetapi paling tidak posisi kita yang dekat dengannya itu bisa membantu diri kita untuk bisa istiqamah. (tidak mau macam-macam selama berada di sisinya).      
Jadi, sangat penting untuk mengkondisikan kita berkumpul dan bermajelis bersama dengan orang yang beriman dengan majelis yang baik.
Hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ (رواه الترمذي وأبو داود)
“Seseorang itu sangat bergantung pada agama temannya, maka perhatikanlah kepada siapa kamu berteman”(HR. Tirdmidzi dan Abu Dawud)
Dalil tersebut jelas memerintahkan kepada kita untuk memilih teman (tidak sembarang dalam memilih teman dalam bermajelis) pilih teman yang bisa membantumu untuk istiqamah. Bukan dengan melihat penampilan saja, seperti majelis-majelis yang banyak melucu, dst.
Berinfak
Hal ini didapatkan dalam buku-buku tentang adab, sehingga berinfak dalam majelis bukan merupakan bagian dari adab tetapi bagian dari kebutuhan dan pelengkap karena dalil yang digunakan dahulu itu adalah dalil umum.

QS. Al Mujadilah
Sehingga infak bisa disebutkan dalam sisi lain namun bukan disebutkan dalam sisi adab.
2.       الإكثار من ذكرالله  (Memperbanyak dzikir kepada Allah)
Ini perlu kita lakukan agar majelis kita tidak berubah fungsinya menjadi sekedar pertemuan melepaskan kerinduan yang akhirnya bahan obrolannya kesana kemari. Sehingga kita perlu mengkondisikan diri kita dan mutarabbiyah kita untuk senantiasa berdzikir kepada Allah.
Imam Abu Daud, Imam At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abdullah Bin Umar Radiyallahu Anhuma berkata

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه)
Dari Ibnu Umar ra berkata, “Jika kami menghitung dalam satu majelis Rasulullah e menyebut sebanyak 100x : Ya Rabbku ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ancaman majelis yang kosong dengan dzikir disebutkan Imam Abu Daud dalam sunannya hadits riwayat Abu Hurairah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُومُونَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا قَامُوا عَنْ مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه أبو داود)
 “Tidaklah dari suatu kaum yang berdiri dari suatu majelis tapi majelisnya tidak ada zikirnya kecuali mereka yang bangkit adalah bangkai-bangaki keledai, bagi mereka adalah kerugian.”
Diantara dzikir yang penting yakni memperbanyak shalawat. Dari Abu Hurairah RA, Nabi Shallallhu ’alaihi wa sallam mengatakan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t عَنْ رَسُولِ اللَّهِ e أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ فِيهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ اللَّهِ تِرَةٌ وَمَنْ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ اللَّهِ تِرَةٌ (رواه أبو داود)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ e قَالَ مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ (رواه الترمذي)
قَالَ أَبُو عِيسَى : وَمَعْنَى قَوْلِهِ تِرَةً يَعْنِي حَسْرَةً وَنَدَامَةً و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالْعَرَبِيَّةِ التِّرَةُ هُوَ الثَّأْر
 “Tidaklah duduk suatu kaum dalam majelis lalu di dalamnya mereka tidak mengingat Allah dan tidak bershalawat kepada nabi mereka kecuali bagi mereka kerugian. Kalau Allah menginginkan Allah siksa mereka dan kalau Allah menginginkan Allah mengampuni dosa-dosa mereka.”
Karena itu hal yang perlu kita ingatkan kepada mutarabbiyah kita terutama dengan adanya syubhat-syubhat dzikir berjamaah mereka yang menyebarkan pemahaman dzikir berjamaah kebanyakan membawa hadits-hadits tentang ….
Padahal kita perlu memahamkan kembali dan menegaskan kepada para mutarabbiyah kita bahwa majelis ilmu itu adalah majelis dzikir. Oleh karena itu, Atho bin Rabah, muftinya orang Mekkah mengatakan tentang majelis dzikir yang disebutkan dalam banyak hadits, beliau berkata yang dimaksud adalah majelis ilmu. Jadi hendaknya tidak menghadiri majelis yang tidak sesuai dengan sunnah.

3.      Berpenampilan yang sebaik-baiknya
Perlu juga diajarkan diawal kepada para mutarabbiyah kita agar penampilannya dalam menghadiri majelis yang didalamnya ada tarbiyah tsaqafiyah berbeda ketika ia menghadiri majelis yang di dalamnya ada tarbiyah jasadiyah.
     




Dalil: QS. Al A’raaf: 31
* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
31.  Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

[534]  Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535]  Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Ayat ini salah satu dalil yang digunakan para fuqaha dalam mewajibkan menutup aurat pada saat shalat.
Makna ….. yang artinya “tutuplah auratmu” secara bahasa adalah “pakailah perhiasanmu”. Artinya pakaian yang kita gunakan jangan cuma menutup aurat selama kita bisa memakai pakaian yang terbaik.
Ayat ini tidak hanya mengkhususkan pada persoalan shalat ketika masuk mesjid walaupun asalnya untuk perbuatan shalat tetapi diantara hikmah mengapa Allah menyebutkan di masjid karena di masjid begitu banyak ibadah yang bisa kita kerjakan.
Hadits Jibril alaihis salam (hadits ke 2 dalam hadits Arbain Annawawiyah) ketika beliau datang mengunjungi para sahabat untuk menjelaskan persoalan bagaimana cara bermajelis yang baik. Diantaranya penampilan Jibril yang patut untuk menjadi perhatian kita adalah apa yang disifatkan oleh Umar bin Khattab RA, beliau mengatakan
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ،
      “Berpenampilan yang terbaik, pakaian yang sangat putih, rambut yang sangat hitam………”
Intinya pembahasan para ulama, Jibril memakai pakaian yang terbaik. Bahkan sebagian riwayat beliau alaihis salam meminyaki rambutnya.
Dalam buku-buku ulama ada yang sangat detail dalam menyebutkan persoalan ini, memotong kuku, merapikan janggut dsb pada saat menghadiri majelis ilmu. Tapi tanpa menjelaskan lebih detail para mutarabbiyah dapat mengambil manfaat atau pelajaran dari murabbiyahnya. Karena murabbiyah itu adalah  contoh yang terbaik bagi mutarabbiyahnya.
4.      Penghormatan/ Mengucapkan salam pada saat tiba di masjid dan pada saat pulang
 Ucapan salam adalah ucapan yang disyariatkan pada saat menghadiri majelis (masuk dan pada saat meninggalkannya). Dan ini tidak bertentangan dengan pendapat sebagiannya. Para ulama memandang tidak mesti mengucapkan salam pada saat memulai majelis dzikir karena telah mengucapkan salam pada saat  memasuki majelis.
Tetapi tidak masalah ketika kita memulai majelis dengan salam, namun perlu diingat hadits-hadits yang menunjukkan disyariatkannya salam hanya pada saat masuk dan ketika hendak meninggalkan majelis.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ ثُمَّ إِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتْ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنْ الْآخِرَةِ
(رواه الترمذي وأبو داود)
 “ Jika salah seorang diantara kalian masuk majelis maka ucapkanlah salam, dan apabila mau duduk maka dipersilahkan, dan jika ia berdiri ingin pulang maka hendaklah ia memberi salam yang kedua.”
Rasulullah masuk masjid pada saat sudah mau khutbah, maka pada saat masuk majelis beliau langsung mengucapkan “ Assalamu ‘alaikum” lalu beliau duduk, adzan dan ketika selesai adzan beliau memulao ceramahnya tanpa mengucapkan salam kembali karena sebelumnya beliau telah salam pada saat masuk majelis. Dan mengakhiri khutbahnya beliau tidak salam karena memang beliau belum mau pergi (masih di masjid), beliau mengucapkan salam pada saat  mau meninggalkan masjid
Salam kepada hadirin peserta tarbiyah boleh tetapi boleh juga kepada orang-orang yang didekatnya saja (kalau dikhawatirkan akan mengganggu jika setiap orang yang baru datang mengucapkan salam). 1 sunnah yang juga perlu diangkat adalah berjabat tangan, hadits-hadits yang menunjukkan syariat berjabat tangan yang hanya pada saat kita bertemu dan tidak ada hadits yang tegas pada saat berpisah, hanya ada sebuah hadits saja yaitu:
      “ Kesempurnaan ucapan salam adalah berjabat tangan.”
Hadits ini dihasankan oleh sebagian ulama kita, dan syaikh Al Albani berkata hadits ini sanadnya lemah tapi maknanya benar sehingga beliau memandang tidak mengapa bahkan baik, beliau anjurkan saat berpisah kita mengucapkan salam.
Faedahnya: eratnya hubungan, menghilangkan dengki dan merupakan salah satu menambah rasa cinta kepada saudara kita.
5.      Dimakruhkannya membangunkan atau menyuruh berdiri seseorang dari majelis tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat temannya tersebut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ وَفِي حَدِيثِ أَبِي عَوَانَةَ مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ (رواه مسلم )
 “ Tidaklah boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri lalu ia mengambil tempat duduknya”
Kalau kita mau maka kita minta dilapangkan tapi kalau sempit maka kita minta kepada yang paling kecil untuk bergantian duduk. Kecuali jika seseorang memberikan kita kesempatan sebelumnya kepada kita tanpa kita menyuruh dia.
6.      Berlapang-lapang dalam majelis
Sebaik-baik majelis adalah yang paling luas dan paling lapang. Maksudnya pertama kita berusaha mencari tempat yang paling luas yang dapat memuat para hadirin. Karena masalah kelapangan majelis mempengaruhi kondisi hati kita. Hanya saja jika tempatnya memang tidak muat maka pada saat itu kita harus berlapang-lapang dalam majelis(memberi tempat kepada saudari kita)
Hal yang perlu untuk diingat: ”jika ada seseorang yang bangkit dari tempat duduknya kemudian dia akan kembali di tempat duduk itu, maka ia lebih berhak untuk duduk di majelis tersebut.
7.      Anjuran untuk berkumpul di dalam sebuah majelis dan tidak berpencar pada saat bermajelis.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « مَا لِى أَرَاكُمْ رَافِعِى أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِى الصَّلاَةِ ». قَالَ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَرَآنَا حَلَقًا فَقَالَ « مَا لِى أَرَاكُمْ عِزِينَ » رواه مسلم
Hadits Riwayat Imam Muslim ”Ketika nabi Shallallahu ’alaihi wasallam melihat halaqah yang banyak Nabi berkata:”Mengapa kalian berpencar pada saat bermajelis?”
Ada riwayat mengatakan bahwa jika sekiranya ada daun jatuh maka daunnya tidak akan jatuh ke tanah. 

عن جابر بن سمرة : قال دخل رسول الله صلى الله عليه و سلم المسجد وهم حلق فقال " مالي أراكم عزين ( يريد فرقا مختلفين لا يجمعكم مجلس واحد ) رواه أبو داود وقال الشيخ الألباني : صحيح
8.      Tidak memisahkan antara keduanya kecuali meminta izin kepada keduanya.
َنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا (رواه الترمذي وأبو داود)
Hadits dari Abdullah bin Amr bi Ash radi, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:”tidak halal bagi seseorang, memisahkan dua orang kecuali atas izin keduanya. Meskipun ada tempat yang agak lowong di antar keduanya.” Dengan kata lain kita harus meminta izin kepada keduanya.
9.      Kita duduk ditempat pemberhentian majelis atau akhir dari majelis.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ أَحَدُنَا حَيْثُ يَنْتَهِي
(رواه الترمذي وأبو داود)
Dari Abu Daud berkata:” Kami para sahabat jika kamu mendatangi Rasulullah, salah seorang diantara kami duduk ditempat perhentiannya.” maka sunnah, barangsiapa yang datang di awal mengambil posisi di depan.
10.  Bolehnya kedepan bagi yang melihat di depannya ada tempat yang lowong tanpa menyakiti orang lain.
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ (متفق عليه)
Dari hadits riwayat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tentang ksaih tiga orang pemuda yang datang melewati majelis Rasulullah tersebut. Tiga orang tersebut adalah:
1.      Melihat tempat/majelis Rasulullah langsung bergabung dan melihat yang kosong maka ia langsung ke depan. Maka ia nanti
2.      Bergabung juga di tempat lowong  tapi ia agak malu-malu, maka ia menyelinap di majelis dengan agak malu-malu .
3.      Yang tidak peduli dengan majelis ilmu, dia melihat majelis Rasulullah tapi ia tidak mempunyai keinginan dan minat dengan majelis tersebut.
Nabi ketika melihat ke tiga orang tersebut mengatakan:
Orang pertma adalah orang yang berlindung kepada Allah, maka Allah melindunginya, orang yang kedua bergabung dalam majelis tapi malu-malu, maka Allah juga malu terhadapnya, sedangkan orang yang ketiga ia berpaling maka Allah juga bepaling darinya.
Imam Bukhari ketika menjelaskan hazdits ini memberikan judul bolehnya ke depan jika melihat ada lowong di depan, tetapi sekali lagi jangan sampai menyakiti orang lain sebagaimana ketika nabi melihat adanya orang yang mau ke depan, beliau berkata:”Duduk saja, kamu telah menyakiti banyak orang”.
11.  Menjauhkan diri dari duduk yang dilarang
Duduk yang paling bagus adalah duduk iftirasy atau seperti duduknya Jibril alaihis salam dihadapan rasulullah ketika datang untuk menjelaskan konsep keimanan kepada para sahabat.
Duduk yang dilarang oleh Rasulullah pada saat bermajelis adalah ada dua, yaitu:
1.      duduk dimana seseorang meletakkan tangan kirinya ke belakang lalu ia bersandar pada tangan kirinya tersebut atau bertopang dengannya.
عَنْ الشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ t قَالَ مَرَّ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جَالِسٌ هَكَذَا وَقَدْ وَضَعْتُ يَدِيَ الْيُسْرَى خَلْفَ ظَهْرِي وَاتَّكَأْتُ عَلَى أَلْيَةِ يَدِي فَقَالَ أَتَقْعُدُ قِعْدَةَ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ (رواه أبو داود وأحمد)
Hadits Rasulullah dari Sunan Abu Daud dari Syahid bin Fulaid, beliau berkata ”Rasulullah melewati aku dan pada waktu itu aku duduk di sini, saya meletakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan saya bertopang dengannya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Apakah kamu mau duduk dengan duduknya orangyang Allah murkai?”
Syaikh Utsaimin mengatakan: Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita menggunakan tangan kanan maka itu tidak mengapa atau kedua-duanya jika kita memiliki hajat namun tidak untuk dilakukan terus-menerus.
2.      Duduk di tempat yang sebagian badannya terkena matahari dan sebagian lainnya terlindungi.
عن أَبي هُرَيْرَةَ t قال قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الشَّمْسِ فَقَلَصَ عَنْهُ الظِّلُّ وَصَارَ بَعْضُهُ فِي الشَّمْسِ وَبَعْضُهُ فِي الظِّلِّ فَلْيَقُمْ (رواه أبو داود وأحمد)
Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah RA, Abul Qasim Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang diantara kamu berada di matahari dan sebagian lainnya dinaungi, maka ia harus bangkit darinya.
12.  Menutup majelis dengan doa kafaratul majelis.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِكَ )رواه الترمذي وأحمد)
Menutup majelis dengan membaca Subhanakallahumma wabihamdika Asyahadu anla ilaha ilallah wa astagfiruka wa atubu ilaik.
Doa ini merupakan khatam dan penghapus dosa dalam majelis.
Jadi tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa do penutup majelis adalah subhanakallahumma Rabbana...karena ini merupakan doa ruku’ dan sujud.
Tidak disyariatkannya pula membaca ”Subhana Rabbika Rabbil izzati amma yasifuun....

عن ابْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ لِأَصْحَابِهِ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنْ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا وَلَا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا (رواه الترمذي)
Abdullah bin Umar Radiyallahu Anhuma mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali atau jarang berdiri dari majelisnya kecuali membaca doa ” Allahummagfirlana minkhasyatika...

Adab-adab mutarabbi kepada murabbinya
رعاية حرمته
 
1.       


Menjaga kehormatannya
عن عبادة بن الصامت t مرفوعا : ] ليس منا من لم يجلَّ كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه[
Dari Ubadah bin Shomit t bahwa Rasulullah e bersabda, “Tidak termasuk golongan kami seorang yang tidak menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda serta tidak mengenali hak dari orang alim diantara kami” (HR. Ahmad dan Hakim serta haditsnya dinyatakan hasan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shoghir).
·         Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma pernah memegang kendali tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit t, ketika Zaid menegurnya karena merasa risih dengan perbuatan dari sepupu Rasulullah e tersebut yang menurutnya agak berlebihan maka Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma menyela, “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku di hadapan ulama dan orang yang lebih tua dari kami[1]
·         Imam Syu’bah bin Hajjaj (wafat tahun 160 H) berkata, “Jika saya telah mendengar sebuah hadits dari seseorang maka saya menjadi seperti budaknya selama dia masih hidup[2]

Orang alim di sini termasuk juga murabbi.
Abdullah bin Abbas pernah memegang tali kekang hewan tunggangan Said bin Tsabit, kemudian Said bin Tasbit merasa risih akan hal ini karena Abdullah bin Abbas walaupun masih kecil tapi ia adalah seorang alim dan seorang ahlul bait sampai beliau (Said bin Tsabit) mau turun tapi Abdullah bin Abbas mengatakan kami diperintahkan bersikap baik kepad ulama dan orang tua kami.
Ini sebagai bentuk rasa terima kasih atau syukur kita akan ilmu yang telah merela sampaikan. 
2.     
الكتابة عن المربى
 


Menulis apa yang dikatakan murabbi
قال عُمَر بْن الْخَطَّابِ :  قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
Dari Abdullah bin Umar, dari Anas bin Malik dari Umar bin Khattab Rasulullah bersabda ”Ikatlah ilmu dengan menulis” HR. Imam Baihaqi.
Asy Sya’di mengatakan ”Bila kau mendengarkan satu ilmu maka tulislah walaupun itu di dinding atau di tembok. Jangan pernah engkau meninggalkan suatu ilmu kecuali engkau telah menulisnya”
3.      Mendengarkan apa yang disampaikan oleh murabbi
Umar bin Khattab mengatakan: ”Jadilah kamu orang alim atau mutaallim atau mustami’ (pendengar) dan jika kamu menjadi yang ke empat maka kamu celaka”. Abu Darda mengatakan ”Tidak apa-apa menjadi orang yang keempat, tapi orang yang keempat adalah simpatisan. Dan jangan menjadi orang yang kelima karena kamu akan binasa. Mustami’ artinya mendengarkan murabbiyah dengan kesan menempatkannya di tempat yang tinggi (menghormatinya). Salah satu sikap tersebut adalah bersikap tawadhu seperti Abdullah bin Abbas yang begitu tawadhu terhadap guru-gurunya,  meskipun gurunya sendiri kadang risih sebab mereka tahu bahwa Ibnu Abbas lebih ’alim dari mereka, namun ibnu abbas sendiri tidak mau memberikan kesan seperti itu. Dan inilah yang juga harus senantiasa diingatkan kepada mutarabbiyah-mutarabbiyah kita tentang bagaimana menghormati murabbinya.

4.      Memuliakan dan bersungguh-sungguh dalam berkhikmad kepada murabbi
5.      Tidak mendahului dari ustadz-ustadznya (jangan menimpali jika ada yang disampaikan oleh murabbiyah), ini dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil firman Allah ”
Walaupun posisi Rasulullah tidaklah persisi sama dengan posisi guru sekarang namun paling tidak seorang murid tidak boleh mendahului ustadznya dalam segala sesuatu. Ini juga dicontohkan oleh sikap nabi Musa terhadap nabi Khidr dimana beliau selalu meminta izin dulu, sampai-sampai ketika mau belajar kepada nabi Khidr pun beliau meminta izin terlebih dahulu.
6.     
ملازمة المربى
 


Bermulazamah atau dekat kepada murabbiyah dengan tujuan :
·         Mengambil manfaat dari adabnya
·         Mengambil manfaat dari ilmunya
Kata imam Syafi’i, salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan banyak menemani ustadz dalam waktu yang panjang. Ini yang seharusnya diajarklan kepada mutarabbiyah untuk banyak bermulazamah dengan murabbinya, sehingga dia bisa mendapatklan banyak ilmu, baik ilmu yang disampaikan secara langsung maupun ilmu berupa adab-adab Rasulullah yang dicontohkan langsung oleh seorang murabbiyah dalam kehidupan sehari-harinya. Ibrahim an Nasa’i pernah mengatakan ”kami mendatangi Masruq bin Ajra’ salah seorang murid dari Abdullah bin Mas’ud (salah seorang tabi’in), lalu kami belajar dari akhlak dan budi pekertinya”. Inilah diantara manfaat dekat dengan murabbi. Abdullah bin Wahab (beliau termasuk perawi yang paling tsiqah terhadap Imam Malik) mengatakan ”yang saya pelajari dari Imam Malik dari adabnya lebih banyak kemudian ilmunya” Padahal tentu saja begitu banyak ilmu Imam Malik yang bisa diserap tapi beliau mengatakan saya lebih banyak belajar adabnya daripada ilmunya. Jadi beliau tidak belajar ilmu saja tetapi juga merekam bagaimana adaba-adab yang diajarkan oleh guru tersebut. Husain bin Ismail dari bapaknya, beliau menceritakan ”majelis Imam Ahmad dihadiri oleh sekitar lima ribu lebih orang dan hanya sekitar lima ratus orang yang menulis ilmu yang disampaikan, dan selebihnya hadir untuk sekedar mempelajari adab dan perilaku imam Ahmad”. Kadang untuk mengenal adabnya Syeikh Utsaimin kita melihat siapa muridnya yang terdekat
7.     
التأدب فى الجلوس بين يديه
 


Beradab pada saat duduk di depan murabbi dengan cara mengkonsentrasikan pemikiran kita kepadanya, menghadirkan seluruh panca indra kita. Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) pernah menasehati anaknya dengan mengatakan wahai anakku jika engkau menghadiri majelis para ulama maka hendaknya engkau lebih bersemangat mendengar daripada berbicara, jangan mengambil sikap diam dan jangan engkau memotong pembicaraan seseorang hingga dia berhenti berbicara”. Jadi hendaknya kita duduk dengan cara yang terbaik yang menunjukkan perhatian kita terhadap apa yang disampaikan.
حسن الاستماع وان علمه أوسمعه من قبل



الصبرعلى جفوته
 
8.       

Bersikap sabar terhadap murabbi dalam segala hal. Termasuk dalam hal penyampaian ilmu dari murabbi, sebab terkadang ada murabbi yang menahan ilmunya atau menunda penjelasannya meski tetap akan disampaikan. Ini dicontohkan dengan kesabaran Umar bin Khattab ketika terjadi peristiwa Jibril. Beliau mengetahui tentang siapa yang datang setelah tiga hari, padahal sebenarnya beliau sangat ingin mengetahuinya namun beliau bersabar hingga Rasulullah sendiri yang menyampaikannya.
9.     
حسن الاستماع وان علمه أوسمعه من قبل




 


Mendengarkan dengan baik
Satu perkataan dari Atha’ bin Abi Rabah (thabi’in yang hidup di Mekah) beliau mengatakan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan hadits dari seseorang padahal aku lebih mengetahuinya dari dia, namun aku menampakkan seolah-olah aku tidak mengetahui hadits tersebut sama sekali”, dalam perkataan yang lain beliau menyampaikan sesungguhny aku kadang mendengarkan seorang pemuda berbicara tentang suatu hadits lalu saya memperhatikan perkataannya seakan-akan belum pernah mendengarkan hadits itu sebelumnya padahal sya telah mendengarkan hadits itu sebelum anak muda itu lahir. Ini perlu diajarkan kepada mutarabbiyah, kadang dalam tarbniyah murabbiyah menyampaikan sesuatu yang mungkin sudah pernah ia dengar sebelumnya maka seorang mutarabbi jangan menunjukkan kesan tidak membutuhkannya lagi. Firman Allah, dan ”berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu selalu saja dibutuhkan oleh orang yang beriman”.



[1]  Ath Thobaqatul Kubro (2/360), Tarikh Ad Dimasyq (19/326), Shifatush Shofwah, Siyar A’lamin Nubalaa(2/437), Al Ishobah,
[2]  Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi 

2 Comments

Terima kasih telah membaca...!!!

Thank you for your comments